Senin, 03 Oktober 2011

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR (BAG_5)

BAB V
PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR

Pasal 51

1. Pengendalian daya rusak air dilakukan secara menyeluruh yang mencakup
upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan.


2. Pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diutamakan pada upaya pencegahan melalui perencanaan pengendalian
daya rusak air yang disusun secara terpadu dan menyeluruh dalam pola
pengelolaan sumber daya air.


3. Pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan dengan melibatkan masyarakat.


4. Pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, serta pengelola sumber
daya air wilayah sungai dan masyarakat.

Pasal 52


Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan terjadinya daya rusak air.

Pasal 53

1. Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dilakukan baik
melalui kegiatan fisik dan/atau nonfisik maupun melalui penyeimbangan hulu
dan hilir wilayah sungai.



2. Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih diutamakan pada
kegiatan nonfisik.


3. Pilihan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh
pengelola sumber daya air yang bersangkutan.


4.Ketentuan mengenai pencegahan kerusakan dan bencana akibat daya rusak
air diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 54



1. Penanggulangan daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) dilakukan dengan mitigasi bencana.


2. Penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
terpadu oleh instansi terkait dan masyarakat melalui suatu badan koordinasi
penanggulangan bencana pada tingkat nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota.


3.Ketentuan mengenai penanggulangan kerusakan dan bencana akibat daya
rusak air diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 55



1. Penanggulangan bencana akibat daya rusak air yang berskala nasional
menjadi tanggung jawab Pemerintah.
2. Bencana akibat daya rusak air yang berskala nasional ditetapkan dengan
keputusan presiden.

Pasal 56



Dalam keadaan yang membahayakan, gubernur dan/atau bupati/walikota
berwenang mengambil tindakan darurat guna keperluan penanggulangan daya
rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1).

Pasal 57

1. Pemulihan daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1)
dilakukan dengan memulihkan kembali fungsi lingkungan hidup dan sistem
prasarana sumber daya air.


2. Pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab
Pemerintah, pemerintah daerah, pengelola sumber daya air, dan masyarakat.


3. Ketentuan mengenai pemulihan daya rusak air sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.



Pasal 58

1. Pengendalian daya rusak air dilakukan pada sungai, danau, waduk dan/atau
bendungan, rawa, cekungan air tanah, sistem irigasi, air hujan, dan air laut
yang berada di darat.


2. Ketentuan mengenai pengendalian daya rusak air pada sungai, danau,
waduk dan/atau bendungan, rawa, cekungan air tanah, sistem irigasi, air
hujan, dan air laut yang berada di darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

BAB VI
PERENCANAAN

Pasal 59

1. Perencanaan pengelolaan sumber daya air disusun untuk menghasilkan
rencana yang berfungsi sebagai pedoman dan arahan dalam pelaksanaan
konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan
pengendalian daya rusak air.



2. Perencanaan pengelolaan sumber daya air dilaksanakan berdasar-kan asas
pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.



3. Perencanaan pengelolaan sumber daya air disusun sesuai dengan pola
pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.


4. Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu unsur dalam
penyusunan, peninjauan kembali, dan/atau penyempur-naan rencana tata
ruang wilayah.

Pasal 60

1. Perencanaan pengelolaan sumber daya air disusun sesuai dengan prosedur
dan persyaratan melalui tahapan yang ditetapkan dalam standar
perencanaan yang berlaku secara nasional yang mencakup inventarisasi
sumber daya air, penyusunan, dan penetapan rencana pengelolaan sumber
daya air.


2. Ketentuan mengenai prosedur dan persyaratan perencanaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 61

1. Inventarisasi sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat
(1) dilakukan pada setiap wilayah sungai di seluruh wilayah Indonesia.


2. Inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara
terkoordinasi pada setiap wilayah sungai oleh pengelola sumber daya air
yang bersangkutan.


3. Pelaksanaan inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilakukan oleh pihak lain berdasarkan ketentuan dan tata cara yang
ditetapkan.


4. Pengelola sumber daya air wajib memelihara hasil inventarisasi dan
memperbaharui data sesuai dengan perkembangan keadaan.


5. Ketentuan mengenai inventarisasi sumber daya air diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.

Pasal 62

1. Penyusunan rencana pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 ayat (3) pada setiap wilayah sungai dilaksanakan secara
terkoordinasi oleh instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya
dengan mengikutsertakan para pemilik kepentingan dalam bidang sumber
daya air.


2. Instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya mengumumkan
secara terbuka rancangan rencana pengelolaan sumber daya air kepada masyarakat.

4. Masyarakat berhak menyatakan keberatan terhadap rancangan rencana
pengelolaan sumber daya air yang sudah diumumkan dalam jangka waktu
tertentu sesuai dengan kondisi setempat.


5. Instansi yang berwenang dapat melakukan peninjauan kembali terhadap
rancangan rencana pengelolaan sumber daya air atas keberatan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


6. Rancangan rencana pengelolaan sumber daya air ditetapkan oleh instansi
yang berwenang untuk menjadi rencana pengelolaan sumber daya air.


7. Rencana pengelolaan sumber daya air pada setiap wilayah sungai dirinci ke
dalam program yang terkait dengan pengelolaan sumber daya air oleh
instansi pemerintah, swasta, dan masyarakat.


8. Ketentuan mengenai perencanaan pengelolaan sumber daya air diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah.

BAB VII
PELAKSANAAN KONSTRUKSI, OPERASI DAN PEMELIHARAAN

Pasal 63

1. Pelaksanaan konstruksi prasarana sumber daya air dilakukan berdasarkan
norma, standar, pedoman, dan manual dengan memanfaatkan teknologi dan
sumber daya lokal serta mengutamakan keselamatan, keamanan kerja, dan
keberlanjutan fungsi ekologis sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


2. Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan pelaksanaan
konstruksi prasarana sumber daya air yang tidak didasarkan pada norma,
standar, pedoman, dan manual sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


3. Setiap orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan pelaksanaan
konstruksi pada sumber air wajib memperoleh izin dari Pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.



4. Pelaksanaan konstruksi prasarana dan sarana sumber daya air di atas tanah
pihak lain dilaksanakan setelah proses ganti kerugian dan/atau kompensasi
kepada pihak yang berhak diselesaikan sesuai dengan peraturan perundangundangan.


5. Ketentuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.

Pasal 64

1. Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sumber daya air terdiri atas
pemeliharaan sumber air serta operasi dan pemeliharaan prasarana sumber
daya air.


2. Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi pengaturan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi untuk
menjamin kelestarian fungsi dan manfaat sumber daya air.


3. Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sumber daya air dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, atau pengelola sumber daya air sesuai
dengan kewenangannya.


4. Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan prasarana sumber daya air yang
dibangun oleh badan usaha, kelompok masyarakat, atau perseorangan
menjadi tugas dan tanggung jawab pihak-pihak yang membangun.


5. Masyarakat ikut berperan dalam pelaksanaan operasi dan pemeliharaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi ditetapkan:

  a. pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi primer dan
sekunder menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah dan
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya,
  b. pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi tersier
menjadi hak dan tanggung jawab masyarakat petani pemakai air.

6. Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang
mengakibatkan rusaknya prasarana sumber daya air.


7. Ketentuan mengenai operasi dan pemeliharaan sumber daya air diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah.

BAB VIII
SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA AIR


Pasal 65

1. Untuk mendukung pengelolaan sumber daya air, Pemerintah dan pemerintah
daerah menyelenggarakan pengelolaan sistem informasi sumber daya air sesuai dengan kewenangannya.


2. Informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
informasi mengenai kondisi hidrologis, hidrome-teorologis, hidrogeologis,
kebijakan sumber daya air, prasarana sumber daya air, teknologi sumber
daya air, lingkungan pada sumber daya air dan sekitarnya, serta kegiatan
sosial ekonomi budaya masyarakat yang terkait dengan sumber daya air.

Pasal 66

1. Sistem informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65
ayat (1) merupakan jaringan informasi sumber daya air yang tersebar dan
dikelola oleh berbagai institusi.


2. Jaringan informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dapat diakses oleh berbagai pihak yang berkepentingan dalam bidang
sumber daya air.


3. Pemerintah dan pemerintah daerah dapat membentuk unit pelaksana teknis
untuk menyelenggarakan kegiatan sistem informasi sumber daya air.

Pasal 67


1. Pemerintah dan pemerintah daerah serta pengelola sumber daya air, sesuai
dengan kewenangannya, menyediakan informasi sumber daya air bagi
semua pihak yang berkepentingan dalam bidang sumber daya air.


2. Untuk melaksanakan kegiatan penyediaan informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), seluruh instansi Pemerintah, pemerintah daerah, badan
hukum, organisasi, dan lembaga serta perseorangan yang melaksanakan
kegiatan berkaitan dengan sumber daya air menyampaikan laporan hasil
kegiatannya kepada instansi Pemerintah dan pemerintah daerah yang
bertanggung jawab di bidang sumber daya air.


3. Pemerintah, pemerintah daerah, pengelola sumber daya air, badan hukum,
organisasi, lembaga dan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) bertanggung jawab menjamin keakuratan, kebenaran, dan
ketepatan waktu atas informasi yang disampaikan.

Pasal 68


1. Untuk mendukung pengelolaan sistem informasi sumber daya air diperlukan
pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrome-teorologi, dan hidrogeologi
wilayah sungai pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.


2. Kebijakan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrome-teorologi, dan
hidrogeologi ditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan usul Dewan Sumber
Daya Air Nasional.


3. Pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi, dan hidrogeologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan pengelola sumber daya air sesuai dengan
kewenangannya.


4. Pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi, dan hidrogeologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan melalui kerja sama
dengan pihak lain.

Pasal 69


Ketentuan mengenai sistem informasi sumber daya air sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68 diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR (BAG_4)

BAB IV
PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA AIR

Pasal 26

1. Pendayagunaan sumber daya air dilakukan melalui kegiatan penatagunaan,
penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya
air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan
pada setiap wilayah sungai.

2. Pendayagunaan sumber daya air ditujukan untuk memanfaatkan sumber
daya air secara berkelanjutan dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan
pokok kehidupan masyarakat secara adil.

3. Pendayagunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.

4. Pendayagunaan sumber daya air diselenggarakan secara terpadu dan adil,
baik antarsektor, antarwilayah maupun antarkelompok masyarakat dengan
mendorong pola kerja sama.

5. Pendayagunaan sumber daya air didasarkan pada keterkaitan antara air
hujan, air permukaan, dan air tanah dengan mengutamakan pendayagunaan air permukaan.

6. Setiap orang berkewajiban menggunakan air sehemat mungkin.

7. Pendayagunaan sumber daya air dilakukan dengan mengutamakan fungsi
sosial untuk mewujudkan keadilan dengan memperhatikan prinsip pemanfaat
air membayar biaya jasa pengelolaan sumber daya air dan dengan
melibatkan peran masyarakat.

Pasal 27

1. Penatagunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
(1) ditujukan untuk menetapkan zona pemanfaatan sumber air dan
peruntukan air pada sumber air.

2. Penetapan zona pemanfaatan sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan salah satu acuan untuk penyusunan atau perubahan rencana
tata ruang wilayah dan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah
sungai yang bersangkutan.

3. Penetapan zona pemanfaatan sumber daya air dilakukan dengan:
  a. mengalokasikan zona untuk fungsi lindung dan budi daya;
  b. menggunakan dasar hasil penelitian dan pengukuran secara teknis
hidrologis;
  c. memperhatikan ruang sumber air yang dibatasi oleh garis sempadan
sumber air;
  d. memperhatikan kepentingan berbagai jenis pemanfaatan;
  e. melibatkan peran masyarakat sekitar dan pihak lain yang berkepentingan;
dan
  f. memperhatikan fungsi kawasan.

4.Ketentuan dan tata cara penetapan zona sumber air diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.

Pasal 28

1. Penetapan peruntukan air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (1) pada setiap wilayah sungai dilakukan dengan
memperhatikan:
a. daya dukung sumber air;
b. jumlah dan penyebaran penduduk serta proyeksi pertumbuhannya;
c. perhitungan dan proyeksi kebutuhan sumber daya air; dan
d. pemanfaatan air yang sudah ada.

2. Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pengawasan pelaksanaan
ketentuan peruntukan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3.Ketentuan mengenai penetapan peruntukan air sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 29

1. Penyediaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan air dan daya air serta memenuhi
berbagai keperluan sesuai dengan kualitas dan kuantitas.

2. Penyediaan sumber daya air dalam setiap wilayah sungai dilaksanakan
sesuai dengan penatagunaan sumber daya air yang ditetapkan untuk
memenuhi kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan,
industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan keanekaragaman
hayati, olahraga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estetika, serta
kebutuhan lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundangundangan.

3. Penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi bagi
pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan prioritas
utama penyediaan sumber daya air di atas semua kebutuhan.

4. Urutan prioritas penyediaan sumber daya air selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ditetapkan pada setiap wilayah sungai oleh Pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan-nya.

5. Apabila penetapan urutan prioritas penyediaan sumber daya air sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) menimbulkan kerugian bagi pemakai sumber daya
air, Pemerintah atau pemerintah daerah wajib mengatur kompensasi kepada
pemakainya.

6. Penyediaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
direncanakan dan ditetapkan sebagai bagian dalam rencana pengelolaan
sumber daya air pada setiap wilayah sungai oleh Pemerintah atau pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangan-nya.

Pasal 30

1. Penyediaan sumber daya air dilaksanakan berdasarkan rencana pengelolaan
sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai .

2. Pemerintah atau pemerintah daerah dapat mengambil tindakan penyediaan
sumber daya air untuk memenuhi kepentingan yang mendesak berdasarkan
perkembangan keperluan dan keadaan setempat.

Pasal 31

Ketentuan mengenai penyediaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 dan Pasal 30 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 32

1. Penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
(1) ditujukan untuk pemanfaatan sumber daya air dan prasarananya sebagai
media dan/atau materi.

2. Penggunaan sumber daya air dilaksanakan sesuai penatagunaan dan
rencana penyediaan sumber daya air yang telah ditetapkan dalam rencana
pengelolaan sumber daya air wilayah sungai bersangkutan.

3.Penggunaan air dari sumber air untuk memenuhi kebutuhan pokok seharihari,
sosial, dan pertanian rakyat dilarang menimbulkan kerusakan pada
sumber air dan lingkungannya atau prasarana umum yang bersangkutan.

4. Penggunaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari yang
dilakukan melalui prasarana sumber daya air harus dengan persetujuan dari
pihak yang berhak atas prasarana yang bersangkutan.

5. Apabila penggunaan air sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata
menimbulkan kerusakan pada sumber air, yang bersangkutan wajib
mengganti kerugian.
6. Dalam penggunaan air, setiap orang atau badan usaha berupaya
menggunakan air secara daur ulang dan menggunakan kembali air.

7.Ketentuan mengenai penggunaan sumber daya air sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 33

Dalam keadaan memaksa, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah mengatur
dan menetapkan penggunaan sumber daya air untuk kepentingan konservasi,
persiapan pelaksanaan konstruksi, dan pemenuhan prioritas penggunaan sumber
daya air.

Pasal 34

1. Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (1) pada wilayah sungai ditujukan untuk peningkatan kemanfaatan
fungsi sumber daya air guna memenuhi kebutuhan air baku untuk rumah
tangga, pertanian, industri, pariwisata, pertahanan, pertambangan,
ketenagaan, perhubungan, dan untuk berbagai keperluan lainnya.

2. Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan tanpa merusak keseimbangan lingkungan hidup.

3. Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan berdasarkan rencana pengelolaan sumber daya air dan
rencana tata ruang wilayah yang telah ditetapkan dengan
mempertimbangkan:
  a. daya dukung sumber daya air ;
  b. kekhasan dan aspirasi daerah serta masyarakat setempat ;
  c. kemampuan pembiayaan; dan
  d. kelestarian keanekaragaman hayati dalam sumber air.

4. Pelaksanaan pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan melalui konsultasi publik, melalui tahapan survei,
investigasi, dan perencanaan, serta berdasarkan pada kelayakan teknis,
lingkungan hidup, dan ekonomi.

5. Potensi dampak yang mungkin timbul akibat dilaksanakannya pengembangan
sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus ditangani
secara tuntas dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait pada tahap
penyusunan rencana.

Pasal 35

Pengembangan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1)
meliputi:
a. air permukaan pada sungai, danau, rawa, dan sumber air permukaan lainnya;
b. air tanah pada cekungan air tanah;
c. air hujan; dan
d. air laut yang berada di darat.

Pasal 36

1. Pengembangan air permukaan pada sungai, danau, rawa, dan sumber air
permukaan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a
dilaksanakan dengan memperhatikan karakteristik dan fungsi sumber air yang bersangkutan.

2. Ketentuan mengenai pengembangan sungai, danau, rawa, dan sumber air
permukaan lainnya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 38

1. Pengembangan fungsi dan manfaat air hujan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 huruf c dilaksanakan dengan mengembangkan teknologi modifikasi
cuaca.

2. Badan usaha dan perseorangan dapat melaksanakan pemanfaatan awan
dengan teknologi modifikasi cuaca setelah memperoleh izin dari Pemerintah.

3. Ketentuan mengenai pemanfaatan awan untuk teknologi modifikasi cuaca
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 39

1. Pengembangan fungsi dan manfaat air laut yang berada di darat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d dilakukan dengan
memperhatikan fungsi lingkungan hidup.

2. Badan usaha dan perseorangan dapat menggunakan air laut yang berada di
darat untuk kegiatan usaha setelah memperoleh izin pengusahaan sumber
daya air dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

3. Ketentuan mengenai pemanfaatan air laut yang berada di darat diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 40

1. Pemenuhan kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dilakukan dengan pengembangan sistem
penyediaan air minum.

2. Pengembangan sistem penyediaan air minum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.

3. Badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah merupakan
penyelenggara pengembangan sistem penyediaan air minum.

4. Koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat dapat berperan serta dalam
penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum.

5. Pengaturan terhadap pengembangan sistem penyediaan air minum bertujuan
untuk :
  a. terciptanya pengelolaan dan pelayanan air minum yang berkualitas
dengan harga yang terjangkau;
  b. tercapainya kepentingan yang seimbang antara konsumen dan penyedia
jasa pelayanan; dan
  c. meningkatnya efisiensi dan cakupan pelayanan air minum.

6. Pengaturan pengembangan sistem penyediaan air minum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diselenggarakan
secara terpadu dengan pengembangan prasarana dan sarana sanitasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf d.

7. Untuk mencapai tujuan pengaturan pengembangan sistem penyediaan air
minum dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6),
Pemerintah dapat membentuk badan yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada menteri yang membidangi sumber daya air.

8. Ketentuan pengembangan sistem penyediaan air minum, badan usaha milik
negara dan/atau badan usaha milik daerah penyelenggara pengembangan
sistem penyediaan air minum, peran serta koperasi, badan usaha swasta,
dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan
air minum, dan pembentukan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (3), ayat (4), dan ayat (7) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.

Pasal 41

1. Pemenuhan kebutuhan air baku untuk pertanian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1) dilakukan dengan pengembangan sistem irigasi.

2. Pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder menjadi wewenang dan
tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah dengan ketentuan:
  a. pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder lintas provinsi
menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah;
  b. pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder lintas
kabupaten/kota menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah
provinsi;
  c. pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder yang utuh pada
satu kabupaten/kota menjadi wewenang dan tanggung jawab
pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan.

3. Pengembangan sistem irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab
perkumpulan petani pemakai air.

4. Pengembangan sistem irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat.

5. Pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder dapat dilakukan oleh
perkumpulan petani pemakai air atau pihak lain sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuannya.

6. Ketentuan mengenai pengembangan sistem irigasi diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.

Pasal 42

1. Pengembangan sumber daya air untuk industri dan pertambangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan air baku dalam proses pengolahan dan/atau eksplorasi.

2. Ketentuan mengenai pengembangan sumber daya air untuk industri dan
pertambangan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 43

1. Pengembangan sumber daya air untuk keperluan ketenagaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dapat dilakukan untuk memenuhi
keperluan sendiri dan untuk diusahakan lebih lanjut.

2.Ketentuan mengenai pengembangan sumber daya air untuk ketenagaan
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 44

1. Pengembangan sumber daya air untuk perhubungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1) dapat dilakukan pada sungai, danau, waduk, dan
sumber air lainnya.

2. Ketentuan mengenai pengembangan sumber daya air sebagai jaringan
prasarana angkutan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 45

1.Pengusahaan sumber daya air diselenggarakan dengan memperhatikan
fungsi sosial dan kelestarian lingkungan hidup.

2. Pengusahaan sumber daya air permukaan yang meliputi satu wilayah sungai
hanya dapat dilaksanakan oleh badan usaha milik negara atau badan usaha
milik daerah di bidang pengelolaan sumber daya air atau kerja sama antara
badan usaha milik negara dengan badan usaha milik daerah.

3. Pengusahaan sumber daya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dilakukan oleh perseorangan, badan usaha, atau kerja sama antar
badan usaha berdasarkan izin pengusahaan dari Pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan-nya.

4. Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berbentuk:
  a. penggunaan air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan yang
ditentukan dalam perizinan;
  b. pemanfaatan wadah air pada suatu lokasi tertentu sesuai
persyaratan yang ditentukan dalam perizinan; dan/atau
  c. pemanfaatan daya air pada suatu lokasi tertentu sesuai persyaratan
yang ditentukan dalam perizinan.

Pasal 46

1. Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya,
mengatur dan menetapkan alokasi air pada sumber air untuk pengusahaan
sumber daya air oleh badan usaha atau perseorangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3).

2. Alokasi air untuk pengusahaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus didasarkan pada rencana alokasi air yang ditetapkan dalam
rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai bersangkutan.

3. Alokasi air untuk pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dalam izin pengusahaan sumber daya air dari Pemerintah atau
pemerintah daerah.

4. Dalam hal rencana pengelolaan sumber daya air belum ditetapkan, izin
pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai ditetapkan berdasarkan
alokasi air sementara.

Pasal 47
1. Pemerintah wajib melakukan pengawasan mutu pelayanan atas:
  a. badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah pengelola sumber
daya air; dan
  b. badan usaha lain dan perseorangan sebagai pemegang izin pengusahaan sumber daya air.

2. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memfasilitasi pengaduan
masyarakat atas pelayanan dari badan usaha dan perseorangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3. Badan usaha dan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
ikut serta melakukan kegiatan konservasi sumber daya air dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

4. Rencana pengusahaan sumber daya air dilakukan melalui konsultasi publik.
Pengusahaan sumber daya air diselenggarakan dengan mendorong
keikutsertaan usaha kecil dan menengah.

Pasal 48

1. Pengusahaan sumber daya air dalam suatu wilayah sungai yang dilakukan
dengan membangun dan/atau menggunakan saluran distribusi hanya dapat
digunakan untuk wilayah sungai lainnya apabila masih terdapat ketersediaan
air yang melebihi keperluan penduduk pada wilayah sungai yang
bersangkutan.

2. Pengusahaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai
bersangkutan.

Pasal 49

1. Pengusahaan air untuk negara lain tidak diizinkan, kecuali apabila
penyediaan air untuk berbagai kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 ayat (2) telah dapat terpenuhi.

2. Pengusahaan air untuk negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus didasarkan pada rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai
yang bersangkutan, serta memperhatikan kepentingan daerah di sekitarnya.

3. Rencana pengusahaan air untuk negara lain dilakukan melalui proses
konsultasi publik oleh pemerintah sesuai dengan kewenangannya.

4. Pengusahaan air untuk negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) wajib mendapat izin dari Pemerintah berdasarkan rekomendasi dari
pemerintah daerah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 50

Ketentuan mengenai pengusahaan sumber daya air diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR (BAG_ 3)

BAB III
KONSERVASI SUMBER DAYA AIR

Pasal 20

1. Konservasi sumber daya air ditujukan untuk menjaga kelangsungan
keberadaan daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumber daya air.

2. Konservasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air,
serta pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dengan
mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada
setiap wilayah sungai.

3. Ketentuan tentang konservasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) menjadi salah satu acuan dalam perencanaan tata ruang.

Pasal 21

1. Perlindungan dan pelestarian sumber air ditujukan untuk melindungi dan
melestarikan sumber air beserta lingkungan keberadaannya terhadap
kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam, termasuk
kekeringan dan yang disebabkan oleh tindakan manusia.
2. Perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui:
  a. pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah
tangkapan air;
  b. pengendalian pemanfaatan sumber air;
  c. pengisian air pada sumber air;
  d. pengaturan prasarana dan sarana sanitasi;
  e. perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan
pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air;
  f. pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu;
  g. pengaturan daerah sempadan sumber air;
  h. rehabilitasi hutan dan lahan; dan/atau
  i. pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan kawasan
pelestarian alam.

3. Upaya perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dijadikan dasar dalam penatagunaan lahan.

4. Perlindungan dan pelestarian sumber air dilaksanakan secara vegetatif
dan/atau sipil teknis melalui pendekatan sosial, ekonomi, dan budaya.

5. Ketentuan mengenai perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 22

1. Pengawetan air ditujukan untuk memelihara keberadaan dan ketersediaan air
atau kuantitas air, sesuai dengan fungsi dan manfaatnya.

2. Pengawetan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
cara :
   a. menyimpan air yang berlebihan di saat hujan untuk dapat dimanfaatkan
pada waktu diperlukan;
  b. menghemat air dengan pemakaian yang efisien dan efektif; dan/atau
  c. mengendalikan penggunaan air tanah.

3. Ketentuan mengenai pengawetan air sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 23

1. Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air ditujukan untuk
mempertahankan dan memulihkan kualitas air yang masuk dan yang ada
pada sumber-sumber air.

2. Pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan cara memperbaiki kualitas air pada sumber air dan prasarana sumber
daya air.

3. Pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara mencegah masuknya pencemaran air pada sumber
air dan prasarana sumber daya air.

4. Ketentuan mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran
air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.

Pasal 24

Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang
mengakibatkan rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya
pengawetan air, dan/atau mengakibatkan pencemaran air.

Pasal 25

1. Konservasi sumber daya air dilaksanakan pada sungai, danau, waduk, rawa,
cekungan air tanah, sistem irigasi, daerah tangkapan air, kawasan suaka
alam, kawasan pelestarian alam, kawasan hutan, dan kawasan pantai.

2. Pengaturan konservasi sumber daya air yang berada di dalam kawasan
suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan hutan, dan kawasan pantai
diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan.

3. Ketentuan mengenai pelaksanaan konservasi sumber daya air sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR (BAG_2)

BAB II
WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB

Pasal 13
1.Wilayah sungai dan cekungan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

2.Presiden menetapkan wilayah sungai dan cekungan air tanah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Sumber Daya Air Nasional.

3.Penetapan wilayah sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota, wilayah sungai lintas
kabupaten/kota, wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara,
dan wilayah sungai strategis nasional.

4.Penetapan cekungan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi cekungan air tanah dalam satu kabupaten/kota, cekungan air tanah
lintas kabupaten/kota, cekungan air tanah lintas provinsi, dan cekungan air
tanah lintas negara.

5.Ketentuan mengenai kriteria dan tata cara penetapan wilayah sungai dan
cekungan air tanah diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 14
Wewenang dan tanggung jawab Pemerintah meliputi:

  a. menetapkan kebijakan nasional sumber daya air;
  b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai
lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis
nasional;
  c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai
lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis
nasional;
  d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah
sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai
strategis nasional;
  e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas
provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis
nasional;
  f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan,
penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai
lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis
nasional;
  g. mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas
penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah pada
cekungan air tanah lintas provinsi dan cekungan air tanah lintas negara;
  h. membentuk Dewan Sumber Daya Air Nasional, dewan sumber daya air
wilayah sungai lintas provinsi, dan dewan sumber daya air wilayah sungai
strategis nasional;
  i. memfasilitasi penyelesaian sengketa antarprovinsi dalam pengelolaan
sumber daya air;
  j. menetapkan norma, standar, kriteria, dan pedoman pengelolaan sumber
daya air;
  k. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah
sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional; dan
  l. memberikan bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Pasal 15
Wewenang dan tanggung jawab pemerintah provinsi meliputi:

  a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya
berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dengan memperhatikan
kepentingan provinsi sekitarnya;
  b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai
lintas kabupaten/kota;
  c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai
lintas kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan provinsi
sekitarnya;
  d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah
sungai lintas kabupaten/kota;
  e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas
kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya;
  f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan,
penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas
kabupaten/kota;
  g. mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas
penyediaan, pengambilan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan air
tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota;
  h. membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat
provinsi dan/atau pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;
  i. memfasilitasi penyelesaian sengketa antarkabupaten/kota dalam
pengelolaan sumber daya air;
  j. membantu kabupaten/kota pada wilayahnya dalam memenuhi
kebutuhan pokok masyarakat atas air;
  k. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota;
dan
  l. memberikan bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada
pemerintah kabupaten/kota.

Pasal 16
Wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota meliputi :

  a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya
berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dan kebijakan
pengelolaan sumber daya air provinsi dengan memperhatikan kepentingan
kabupaten/kota sekitarnya;
  b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai
dalam satu kabupaten/kota;
  c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai
dalam satu kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan
kabupaten/kota sekitarnya;
  d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah
sungai dalam satu kabupaten/kota;
  e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam
satu kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota
sekitarnya;
  f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin penyediaan, peruntukan,
penggunaan, dan pengusahaan air tanah di wilayahnya serta sumber daya
air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;
  g. membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat
kabupaten/kota dan/atau pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota;
  h. memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air bagi masyarakat
di wilayahnya; dan
  i. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu
kabupaten/kota.

Pasal 17
Wewenang dan tanggung jawab pemerintah desa atau yang disebut dengan
nama lain meliputi:

  a. mengelola sumber daya air di wilayah desa yang belum dilaksanakan
oleh masyarakat dan/atau pemerintahan di atasnya dengan
mempertimbangkan asas kemanfaatan umum;
  b. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan
pengelolaan sumber daya air yang menjadi kewenangannya;
  c. memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari warga desa atas air
sesuai dengan ketersediaan air yang ada; dan
  d. memperhatikan kepentingan desa lain dalam melaksanakan pengelolaan
sumber daya air di wilayahnya.

Pasal 18

Sebagian wewenang Pemerintah dalam pengelolaan sumber daya air
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dapat diselenggarakan oleh pemerintah
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 19

1.Dalam hal pemerintah daerah belum dapat melaksanakan sebagian
wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16,
pemerintah daerah dapat menyerahkan wewenang tersebut kepada
pemerintah di atasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2.Pelaksanaan sebagian wewenang pengelolaan sumber daya air oleh
pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16
wajib diambil oleh pemerintah di atasnya dalam hal:

  a. pemerintah daerah tidak melaksanakan sebagian wewenang
pengelolaan sumber daya air sehingga dapat membahayakan
kepentingan umum; dan/atau
  b. adanya sengketa antarprovinsi atau antarkabupaten/kota.

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR (BAG_ I)

UNDANG-UNDANG TENTANG SUMBER DAYA AIR.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di
dalamnya.

2. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah
permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah,
air hujan, dan air laut yang berada di darat.

3. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.

4. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di
bawah permukaan tanah.

5. Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang
terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah.

6. Daya air adalah potensi yang terkandung dalam air dan/atau pada
sumber air yang dapat memberikan manfaat ataupun kerugian bagi
kehidupan dan penghidupan manusia serta lingkungannya.

7. Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan,
melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi
sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya
rusak air.

8. Pola pengelolaan sumber daya air adalah kerangka dasar dalam
merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan
konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan
pengendalian daya rusak air.

9. Rencana pengelolaan sumber daya air adalah hasil perencanaan secara
menyeluruh dan terpadu yang diperlukan untuk menyelenggarakan
pengelolaan sumber daya air.

10. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air
dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang
luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km^2.

11. Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah
hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan
pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang
masih terpengaruh aktivitas daratan.

12. Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas
hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses
pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung.

13. Hak guna air adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau
mengusahakan air untuk berbagai keperluan.

14. Hak guna pakai air adalah hak untuk memperoleh dan memakai air.

15. Hak guna usaha air adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air.

16. Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah
otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah.

17. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta
para menteri.

18. Konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan serta
keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar senantiasa
tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi
kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan
datang.

19. Pendayagunaan sumber daya air adalah upaya penatagunaan,
penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber
daya air secara optimal agar berhasil guna dan berdaya guna.

20. Pengendalian daya rusak air adalah upaya untuk mencegah,
menanggulangi, dan memulihkan kerusakan kualitas lingkungan yang
disebabkan oleh daya rusak air.

21. Daya rusak air adalah daya air yang dapat merugikan kehidupan.

22. Perencanaan adalah suatu proses kegiatan untuk menentukan tindakan
yang akan dilakukan secara terkoordinasi dan terarah dalam rangka
mencapai tujuan pengelolaan sumber daya air.

23. Operasi adalah kegiatan pengaturan, pengalokasian, serta penyediaan
air dan sumber air untuk mengoptimalkan pemanfaatan prasarana sumber
daya air.

24. Pemeliharaan adalah kegiatan untuk merawat sumber air dan prasarana
sumber daya air yang ditujukan untuk menjamin kelestarian fungsi sumber
air dan prasarana sumber daya air.

25. Prasarana sumber daya air adalah bangunan air beserta bangunan lain
yang menunjang kegiatan pengelolaan sumber daya air, baik langsung
maupun tidak langsung.

26. Pengelola sumber daya air adalah institusi yang diberi wewenang untuk
melaksanakan pengelolaan sumber daya air.


Pasal 2
Sumber daya air dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan,
kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta
transparansi dan akuntabilitas.

Pasal 3
Sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan
lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air
yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pasal 4
Sumber daya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang
diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras.

Pasal 5
Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok
minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan
produktif.

Pasal 6
1.Sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
2.Penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap
mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa
dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
peraturan perundang-undangan.
3.Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan
telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.
4.Atas dasar penguasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditentukan hak guna air.

Pasal 7
1.Hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) berupa hak
guna pakai air dan hak guna usaha air.
2.Hak guna air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat disewakan
atau dipindahtangankan, sebagian atau seluruhnya.

Pasal 8
1.Hak guna pakai air diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan pokok
sehari-hari bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat yang berada di
dalam sistem irigasi.
2.Hak guna pakai air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerlukan izin
apabila:
  a. cara menggunakannya dilakukan dengan mengubah kondisi alami
sumber air;
  b. ditujukan untuk keperluan kelompok yang memerlukan air dalam jumlah
besar; atau
  c. digunakan untuk pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada.
3.Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan-nya.
4.Hak guna pakai air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak untuk
mengalirkan air dari atau ke tanahnya melalui tanah orang lain yang
berbatasan dengan tanahnya.

Pasal 9
1.Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha
dengan izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
2.Pemegang hak guna usaha air dapat mengalirkan air di atas tanah orang lain
berdasarkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
3.Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa kesepakatan
ganti kerugian atau kompensasi.

Pasal 10
Ketentuan mengenai hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal
8, dan Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 11
1.Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya air yang dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat
dalam segala bidang kehidupan disusun pola pengelolaan sumber daya air.
2.Pola pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun berdasarkan wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air
permukaan dan air tanah.
3.Penyusunan pola pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha
seluas-luasnya.
4.Pola pengelolaan sumber daya air didasarkan pada prinsip keseimbangan
antara upaya konservasi dan pendayagunaan sumber daya air.
5.Ketentuan mengenai penyusunan pola pengelolaan sumber daya air
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.

Pasal 12
1.Pengelolaan air permukaan didasarkan pada wilayah sungai.
2.Pengelolaan air tanah didasarkan pada cekungan air tanah.
3.Ketentuan mengenai pengelolaan air permukaan dan pengelolaan air tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.

Selasa, 03 Mei 2011

PEMECAH GELOMBANG (BAG_5)

PEMECAH GELOMBANG
Pemecah gelombang adalah bangunan yang digunakan untuk melindungi daerah perairan pelabuhan dari gangguan gelombang.
Bangunan ini memisahkan daerah perairan dari laut bebas, sehingga perairan pelabuhan tidak banyak dipengaruhi oleh gelombang besar di laut.
Tujuan utama pemecah gelombang adalah untuk melindungi kolam pelabuhan terhadap gangguan gelombang.
Ada beberapa macam pemecah gelombang ditinjau dari bentuknya:
1. Pemecah gelombang sisi miring -> dasar laut di pantai perairan kebanyakan dari tanah lunak, di mana    daya dukung tanah kecil; batu alam sebagai bahan utama banyak tersedia
2. Pemecah gelombang sisi tegak -> daya dukung tanah besar; kedalaman air besar; ditempatkan di laut dengan kedalaman yang lebih besar dari tinggi gelombang; dasar laut terdiri dari tanah lunak yang sangat tebal
3. Pemecah gelombang campuran -> di laut yang sangat dalam; kedalaman air sangat besar dan tanah dasar tidak mampu menahan beban

Tipe pemecah gelombang yang digunakan biasanya ditentukan oleh:
1. Ketersediaan material di atau dekat lokasi pekerjaan
2. Kondisi dasar laut
3. Kedalaman air
4. Fungsi pelabuhan
5. Ketersediaan peralatan untuk pelaksanaan pekerjaan

Pemecah gelombang bisa dibuat dari:
1. Tumpukan batu alam
2. Blok beton
3. Gabungan antara batu pecah dan blok beton
4. batu buatan dari beton dengan bentuk khusus
5. Beton massa
6. Turap baja atau beton

ALUR PELAYARAN (BAG_4)

ALUR PELAYARAN
Kedalaman Alur
Kedalaman air total ditentukan oleh berbagai faktor:
1. Sarat kapal
2. Gerak vertikal kapal karena gelombang dan pertambahan sarat kapal terhadap muka air yang disebabkan oleh kecepatan kapal
3. Ruang kebebasan bersih
4. Ketelitian pengukuran
5. Pengendapan sedimen antara dua pengerukan
6. Toleransi pengerukan


Gerak Kapal karena Pengaruh Gelombang:
1. Heaving (angkatan)
2. Pitching (anggukan)
3. Rolling (oleng)
4. Swaying (goyangan)
5. Surging (sentakan)
6. Yawing (oleng ke samping)


Lebar Alur
Lebar alur tergantung pada beberapa faktor, yaitu:
1. Lebar, kecepatan dan gerakan kapal
2. Traffik kapal, alur direncanakan untuk satu atau dua jalur
3. Kedalaman alur
4. Alur sempit atau lebar
5. Stabilitas tebing alur
6. Angin, gelombang dan arus melintang dalam alur

Pada alur untuk satu jalaur (tidak ada simpangan), lebar alur adalah tiga sampai empat kali lebar kapal.
Jika kapal boleh bersimpangan, lebar alur adalah enam sampai tujuh kali lebar kapal.


Layout Alur Pelayaran
Faktor-faktor yang berpengaruh pada pemilihan trase alur pelayaran:
1. Kondisi tanah dasar laut
2. Kondisi pelayaran (angin, arus dan gelombang)
3. Peralatan bantu (lampu-lampu dan radar)
4. Pertimbangan ekonomis

Ketentuan yang perlu diperhatikan dalam merencanakan trase alur pelayaran:
1. Sedapat mungkin trase alur harus mengikuti garis lurus
2. Satu garis lengkung akan lebih baik daripada sederetan belokan kecil dengan interval pendek
3. Garis lurus yang menghubungkan dua kurva lengkung harus mempunyai panjang minimum 10 kali panjang kapal terbesar
4. Sedapat mungkin alur tersebut harus mengikuti arah arus dominan, untuk memperkecil alur melintang
5. Jika  mungkin, pada waktu kapal terbesar masuk pada air pasang, arus berlawanan dengan arah kapal yang datang
6. Gerakan kapal akan sulit apabila dipengaruhi oleh arus atau angin melintang
7. Pada setiap alur terdapat yang disebut titik tidak boleh kembali di mana kapal tidak boleh berhenti atau berputar dan mulai dari titik tersebut kapal-kapal diharuskan melanjutkan sampai ke pelabuhan


Kolam Pelabuhan
Ketenangan di pelabuhan
Kolam pelabuhan harus cukup tenang, baik dalam kondisi biasa maupun badai

Selasa, 05 April 2011

ANGIN, PASANG-SURUT DAN GELOMBANG (BAG_3)

ANGIN, PASANG-SURUT DAN GELOMBANG

Angin sangat penting, karena angin menimbulkan arus dan gelombang dan angin dapat menimbulkan tekanan pada kapal dan bangunan pelabuhan.
Gelombang yang menyerang bangunan pantai akan menimbulkan gaya-gaya yang bekerja pada bangunan tersebut.
Pasang-surut adalah penting di dalam menentukan dimensi bangunan, seperti pemecah gelombang, dermaga, pelampung penambat, kedalaman alur dan perairan pelabuhan, dsb.


Tipe pasang-surut dalam satu hari menurut terjadinya
1. Pasang-surut harian ganda (semi diurnal tide): dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi yang hampir sama dan pasang-surut terjadi secara berurutan secara teratur.
2. Pasang-surut harian tunggal (diurnal tide): dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut.
3. Pasang-surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide prevailing semidiurnal): dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali air surut, tetapi tinggi dan periodenya berbeda.
4. Pasang-surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal): dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut, tetapi kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang sangat berbeda.


Pasang-surut purnama: pada setiap sekitar tanggal 1 dan 15 (bulan muda dan bulan purnama) posisi bumi-bulan-matahari kira-kira berada pada satu garis lurus, sehingga gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi saling memperkuat, di mana tinggi pasang-surut sangat besar dibanding pada hari-hari yang lain.
Pasang-surut perbani: pada sekitar tanggal 7 dan 21 di mana bulan dan matahari membentuk sudut siku-siku terhadap bumi, maka gaya tarik bulan terhadap bumi saling mengurangi, di mana tinggi pasang-surut kecil dibanding dengan hari-hari lain.


Elevasi
1. Muka air tinggi tertinggi (highest high water level, HHWL): air tertinggi pada saat pasang-surut purnama atau bulan mati.
2. Muka air rendah terendah (lowest low high level, LLWL): air terendah pada saat pasang-surut purnama atau bulan mati.
3. Muka air tinggi (high water level, HWL): muka air tertinggi yang dicapai pada saat air pasang dalam satu siklus pasang-surut.
4. Muka air rendah (low water level, LWL): kedudukan air terendah yang dicapai pada saat air surut dalam satu siklus pasang-surut.
5. Muka air tinggi rerata (mean high water level, MHWL): rerata dari muka air tinggi selama periode 19 tahun.
6. Muka air rendah rerata (mean low water level, MLHL): rerata dari muka air rendah selama periode 19 tahun.
7. Muka air laut rerata (mean sea level, MSL): muka air rerata antara muka air tinggi rerata dan muka air rendah rerata.
8. Higher high water level: air tertinggi dari dua air tinggi dalam satu hari, seperti dalam pasang-surut tipe campuran.
9. Lower low high water level: air terendah dari dua air rendah dalam satu hari.


Deformasi gelombang
1. Refraksi gelombang: terjadi karena adanya pengaruh perubahan kedalaman laut.
2. Difraksi gelombang: terjadi karena adanya suatu rintangan, seperti pemecah gelombang atau pulau.
3. Refleksi gelombang: terjadi karena mengenai atau membentur suatu bangunan, yang akan dipantulkan sebagian atau seluruhnya.
4. Gelombang pecah: terjadi karena menjalar dari tempat yang dalam menuju ke tempat yang makin lama makin dangkal, pada suatu lokasi tertentu.


L_0=1,56T^2
C=L/T
C_0=L_0/T
sin??a_1 ?=C_1/C_0   sin??a_0 ?
K_r=v(cos??a_0 ?/cos??a_1 ? )
K_s=v((n_0 L_0)/(n_1 L_1 ))
H_1=K_s K_r H_0
H_A=K^' H_p

PERENCANAAN PELABUHAN (BAG_2)

PERENCANAAN PELABUHAN

Pertimbangan yang mendasari dibangunnya sebuah pelabuhan
a. Pembangunan pelabuhan yang didasarkan pada pertimbangan politik.
b. Pembangunan suatu pelabuhan diperlukan untuk melayani/meningkatkan kegiatan ekonomi di daerah di belakangnya dan menunjang kelancaran perdagangan antar-pulau maupun negara (ekspor dan impor).
c. Untuk mendukung kelancaran produksi suatu perusahaan atau pabrik, sering diperlukan suatu pelabuhan khusus.


Persyaratan yang harus dipenuhi agar sebuah pelabuhan dapat memberi pelayanan yang baik dan cepat
1. Harus ada transportasi yang mudah antara transportasi air dan darat, seperti jalan raya dan kereta api, sedimikian sehingga barang-barang dapat diangkut ke dan dari pelabuhan dengan mudah dan cepat.
2. Pelabuhan berada di suatu lokasi yang mempunyai daerah belakang atau pengaruh subur dengan populasi penduduk yang cukup padat.
3. Pelabuhan harus mempunyai kedalaman air dan lebar alur yang cukup.
4. Kapal-kapal yang mencapai pelabuhan harus bisa membuang sauh selama menunggu untuk merapat ke dermaga guna bongkar-muat barang atau mengisi bahan bakar.
5. Pelabuhan harus mempunyai fasilitas bongakr-muat barang (kran, dsb).
6. Pelabuhan harus mempunyai fasilitas untuk mereparasi kapal-kapal.


Lay-out pelabuhan yang umum
1. Pemecah gelombang, yang digunakan untuk melindungi daerah perairan pelabuhan dari gangguan gelombang.
2. Alur pelayaran, yang berfungsi untuk mengarahkan kapal-kapal yang akan keluar atau masuk ke pelabuhan.
3. Kolam pelabuhan, merupakan daerah perairan di mana kapal berlabuh untuk melakukan bongkar-muat, gerakan untuk memutar (di kolam putar), dsb.
4. Dermaga, adalah bangunan pelabuhan yang digunakan untuk merapatkannya kapal dan menambatkannya pada waktu bongkar-muat barang.
5. Alat penambat, digunakan untuk menambatkan kapal pada waktu merapat di deramga maupun menunggu di perairan sebelum bisa merapat ke dermaga.
6. Gudang, yang terletak di belakang dermaga untuk menyimpan barang-barang yang harus menuggu pengapalan.
7. Gedung terminal untuk keperluan administrasi.
8. Fasilitas bahan bakar untuk kapal.
9. Fasilitas pandu kapal, kapal tunda dan perlengkapan lain yang diperlukan untuk membawa kapal keluar atau masuk pelabuhan.
10. Peralatan bongkar-muat barang, seperti kran darat, kran apung, kendaraan untuk mengangkat atau memindahkan barang, seperti forklift.
11. Fasilitas-fasilitas lain untuk keperluan penumpang, anak buah kapal dan muatan kapal, seperti dokter pelabuhan, karantina, bea-cukai, imigrasi, keamanan, dsb.


Faktor yang mempengaruhi penentuan lokasi pelabuhan
1. Biaya pembangunan dan perawatan bangunan-bangunan pelabuhan, termasuk pengerukan pertama yang harus dilakukan.
2. Biaya operasi dan pemeliharaan, terutama pengerukan endapan di alur dan kolma pelabuhan.


Tinjauan yang harus dilakukan saat merencanakan lokasi sebuah pelabuhan
1. Tinjauan topografi dan geologi: keadaan topografi daratan dan bawah laut harus memungkinkan untuk membangun suatu pelabuhan dan kemungkinan untuk pengembangan di masa mendatang.
2. Tinjauan pelayaran: pelabuhan yang dibangun harus mudah dilalui kapal-kapal yang akan menggunakannya.
3. Tinjauan sedimentasi: pengerukan untuk mendapatkan kedalaman yang cukup bagi pelayaran di daerah perairan pelabuhan memerlukan biaya yang cukup besar.
4. Tinjauan gelombang dan arus: gelombang menimbulkan gaya-gaya yang bekerja pada kapal dan bangunan pelabuhan.
5. Tinjauan kedalaman air: kedalaman laut sangat berpengaruh pada pernecanaan pelabuhan.


Jenis ukuran ruang dalam ukuran kolam putar
1. Ukuran ruang optimum untuk dapat berputar dengan mudah memerlukan diameter empat kali panjang kapal yang menggunakannya.
2. Ukuran menengah ruang putar dengan sedikit kesulitan dalam berputar mempunyai diameter dua kali panjang kapal terbesar yang menggunakannya.
3. Ruang putaran kecil yang mempunyai diameter kurang dari dua kali panjang kapal.
4. Ukuran minimum ruang putaran harus mempunyai diameter 20 % lebih panjang dari panjang kapal terbesar yang menggunakannya.


Rumus Stevenson
H_p=H(v(b/B)-0,027?D (1+v(b/B)) )
di mana:
              H_p = tinggi gelombang di titik P di dalam pelabuhan (m)
              H = tinggi gelombang di mulut pelabuhan (m)
              b = lebar mulut (m)
              B = lebar kolam pelabuhan di titik P, yaitu panjang busur lingkaran dengan jari-jari D dan pusat pada titik tengah mulut (m)
              D = jarak dari mulut ke titik P

PELABUHAN (BAG_1)

PENDAHULUAN PELABUHAN
Arti penting pelabuhan dalam sistem pelayanan transportasi
Pelabuhan merupakan tempat pemberhentian (terminal) kapal setelah melakukan pelayaran.
Di pelabuhan ini, kapal melakukan berbagai kegiatan, seperti menaik-turunkan penumpang, bongkar-muat barang, pengisian bahan bakar dan air tawar, melakukan reparasi, mengadakan perbekalan, dsb.
Untuk bisa melaksanakan berbagai kegiatan tersebut pelabuhan harus dilengkapi dengan fasilitas, seperti pemecah gelombang, dermaga, peralatan tambatan, bongkar-muat barang, gudang-gudang, halaman untuk menimbun barang, perkantoran, baik untuk mengelola pelabuhan maupun maskapai pelayaran, ruang tunggu bagi penumpang, perlengkapan pengisian bahan bakar dan penyediaan air bersih, dlsb.


Bandar (harbour): daerah perairan yang terlindung terhadap gelombang dan angin untuk berlabuhnya kapal-kapal.
Pelabuhan (port): daerah perairan yang terlindung terhadap gelombang, yang dilengkapi dengan fasilitas terminal laut, meliputi dermaga, di mana kapal dapat bertambat untuk bongkar-muat barang, kran-kran untuk bongkar-muat barang, gudang laut (transito) dan tempat-tempat penyimpanan, di mana kapal membongkar muatannya, dan gudang-gudang, di mana barang-barang dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama selama menunggu pengiriman ke daerah tujuan atau pengapalan.


Jenis pelabuhan menurut 4th Gate Way Ports System
1. Gate way port
    a. Tanjung Priok
    b. Tanjung Perak
    c. Belawan
    d. Ujung Pandang

2. Regional collector port
    a. Teluk Bayur
    b. Palembang
    c. Balikpapan
    d. Dumai
    e. Lembar
    f. Pontianak
    g. Cirebon
    h. Panjang
    i. Ambon
    j. Kendari
    k. Lhokseumawe
    l. Sorong
    m. Bitung
    n. Semarang

3. Trunk port
    -Kategori I
    a. Banjarmasin
    b. Samarinda
    c. Meneng
    d. Cilacap
    e. Tarakan
    f. Donggala
    g. Tenau
    h. Ternate
    i. Krueng Raya
    j. Sibolga
    k. Jayapura
    l. Gorontalo
    m. Bengkulu
    n. Batam
    -Kategori II
    a. Kuala Langsa
    b. Sampit
    c. Benoa
    d. Pakanbaru
    e. Jambi
    f. Pare-pare
    g. Sintete
    h. Biak
    i. Merauke
    j. Toli-toli
    k. Kalianget

4. Feeder port
    a. Nusa Tenggara Barat
    b. Nusa Tenggara Timur
    c. Maluku
    d. Irian Jaya


Macam pelabuhan
Ditinjau dari segi penyelenggaraannya
1. Pelabuhan umum: diselenggarakan untuk kepentingan pelayanan masyarakat umum.
2. Pelabuhan khusus: diselenggarakan untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu.

Ditinjau dari segi pengusahaannya
1. Pelabuhan yang diusahakan: sengaja diusahakan untuk memberikan fasilitas-fasilitas yang diperlukan oleh kapal yang memasuki pelabuhan untuk melakukan kegiatan bongkar-muat barang, menaik-turunkan penumpang dan kegiatan lainnya.
2. Pelabuhan yang tidak diusahakan: hanya merupakan tempat persinggahan kapal/perahu, tanpa fasilitas bongkar-muat, bea-cukai, dsb.

Ditinjau dari fungsinya dalam perdagangan nasional dan internasional
1. Palabuhan laut: pelabuhan yang bebas dimasuki oleh kapal-kapal berbendera asing.
2. Pelabuhan pantai: pelabuhan yang disediakan untuk perdagangan dalam negeri dan oleh karena itu, tidak bebas disinggahi oleh kapal berbendera asing.

Ditinjau dari segi penggunaannya
1. Pelabuhan ikan: tidak memerlukan kedalaman air yang besar, karena kapal-kapal motor yang digunakan untuk menangkap ikan tidak besar.
2. Pelabuhan minyak: harus diletakkan agak jauh dari keperluan umum.
3. Pelabuhan barang: mempunyai dermaga yang dilengkapi fasilitas untuk bongkar-muat barang.
4. Pelabuhan penumpang: dibangun stasiun penumpang yang melayani segala kegiatan yang berhubungan dengan kebutuhan orang yang bepergian, seperti kantor imigrasi, duane, keamanan, direksi pelabuhan, maskapai pelayaran, dsb.
5. Pelabuhan campuran: terbatas untuk penumpang dan barang, sedang untuk keperluan ikan dan minyak biasanya tetap terpisah.
6. Pelabuhan militer: mempunyai daerah perairan yang cukup luas untuk memungkinkan gerakan cepat kapal-kapal perang dan agar letak bangunan cukup terpisah.

Ditinjau dari letak geografis
1. Pelabuhan alam: daerah perairan yang terlindungi dari badai dan gelombang seara alam, misalnya oleh suatu pulau, jazirah atau terletak di teluk, estuari dan muara sungai.
2. Pelabuhan buatan: suatu daerah perairan yang dilindungi dari pengaruh gelombang dengan membuat bangunan pemecah gelombang.
3. Pelabuhan semi-alam: suatu pelabuhan yang terlindungi oleh lidah pantai dan perlindungan buatan hanya pada alur masuk.


Estuari: bagian dari sungai yang dipengaruhi oleh pasang-surut air laut.


Syarat-syarat perlengkapan pelabuhan barang
a. Deramga harus panjang dan dapat menampung seluruh panjang kapal atau setidak-tidaknya 80 % dari panjang kapal.
b. Mempunyai halamn dermaga yang cukup lebar untuk keperluan bongkar-muat barang.
c. Mempunyai gudang transito atau penyimpanan di belakang halaman dermaga.
d. Tersedia jalan dan halaman untuk pengambilan atau pemasukan barang dari dan ke gudang serta mempunyai fasilitas untuk reparasi.


Jenis golongan bentuk halaman dermaga pelabuhan barang
a. Barang-barang potongan (general cargo): barang-barang yang dikirim dalam bentuk satuan, seperti mobil, truk, mesin dan barang-barang yang dibungkus dalam peti, karung, drum, dsb.
b. Muatan curah atau lepas (bulk cargo): yang dimuat tanpa pembungkus, seperti batu bara, biji-bijian, minyak, dsb.
c. Peti kemas atau kontainer: suatu peti yang ukurannya telah distandarisasi sebagai pembungkus barang-barang yang dikirim.


Panjang total (length overall, Loa): panjang kapal dihitung dari ujung depan (haluan) sampai belakang (buritan).
Panjang garis air (length between perpendiculars, Lpp): panjang antara kedua ujung garis air pada beban yang direncanakan.
Sarat (draft): bagian kapal yang terendam air pada keadaan muatan maksimum, atau jarak antara garis air pada beban yang direncanakan (designed load water line) dengan titik terendah kapal.
Lebar kapal (beam): jarak maksimum antara dua sisi kapal.


Ukuran isi tolak (displacement tonnage, DPL): volume air yang dipindahkan oleh kapal, dan sama dengan berat kapal.
Berat kapal maksimum (displacement tonnage loaded): apabila kapal masih dimuati lagi, kapal akan terganggu stabilitasnya sehingga kemungkinan kapal tenggelam menjadi lebih besar.
Berat kapal tanpa muatan (displacement tonnage light): ukuran isi tolak dalam keadaan kosong.

Bobot mati (deadweight tonnage, DWT): berat total muatan di mana kapal dapat mengangkut dalam keadaan pelayaran optimal atau sarat maksimum.

Ukuran isi kotor (gross register tons, GRT): volume keseluruhan bagian kapal.
Ukuran isi bersih (netto register tons, NRT): ruangan yang disediakan untuk muatan dan penumpang.


Jenis kapal
1. Kapal penumpang.
2. Kapal barang.


Roll-on/roll-off (Ro/Ro): bongkar-muat secara horizontal.
Lift-on/lift-off (Lo/Lo): bongkar-muat secara vertikal.

Senin, 04 April 2011

PENGARUH PESAWAT TERHADAP LANDAS PACU (lapter BAG_2)

Pengaruh kemampuan pesawat terbang terhadap panjang landasan pacu lapangan terbang

a. Kecepatan awal untuk mendaki, V2: kecepatan minimum di mana pilot diperkenankan untuk mendaki sesudah pesawat terbang mencapai ketingian 10,5 m di atas permukaan landasan pacu.

b. Kecepatan putusan (decision speed, V1):
    -Bila mesin mengalami gagal, V1 belum tercapai, pilot harus menghentikan pesawat terbang.
    -Bila mesin gagal setelah V1 tercapai, pilot harus tetap menerbangkan pesawat terbang/lepas landas.

c. Kecepatan rotasi, Vr: kecepatan saat pilot mulai mengangkat hidung pesawat terbang untuk lepas landas dengan menarik handel ke belakang.

d. Kecepatan angkat, Vlof: kecepatan dari kemampuan pesawat terbang, saat ini badan pesawat terbang mulai terangkat dari landasan pacu.

e. Jarak lepas landas
   -Jarak horizontal yang diperlukan untuk lepas landas dengan mesin tidak bekerja, tetapi pesawat terbang telah mencapai ketinggian 10,5 m di atas permukaan landasan pacu.
   -115 % dari jarak horizontal yang diperlukan untuk lepasa landas dengan mesin masih bekerja, pesawat terbang telah mencapai ketinggian 10,5 m.

   Dari kedua kondisi tersebut, dipilih mana yang lebih besar.

f. Jarak berhenti akselerasi: jarak yang diperlukan untuk mencapai kecepatan V1 + berhenti dari titik V1.

g. Take off run
   1. Jarak dari awal take off ke suatu titik di mana dicapai Vlof + setengah jarak di mana pesawat terbang mencapai ketinggian 10,5 m saat mesin tidak bekerja.
   2. Jarak dari awal lepas landas ke suatu titik di mana dicapai Vlof dikalikan 115 % + setengah jarak di mana pesawat terbang mencapai ketinggian 10,5 m dikalikan 115 %.

   Kondisi yang terbesar dari kedua kondisi tersebutlah yang dipilih sebagai take off run.

h. Stopway: perpanjangan landasan pacu, digunakan untuk menahan peasawat terbang pada waktu gagal lepas landas.


Untuk pesawat terbang bermesin turbin dalam menentukan panjang landasan pacu harus memepertimbangkan keadaan umum agar pengoperasian pesawat aman:
Keadaan tersebut adalah:
1. Lepas landas normal: suatu keadaan di mana seluruh mesin dapat dipakai dan landasan pacu yang cukup dibutuhkan untuk menampung variasi-variasi dalam teknik pengangkatan dan karakteristik khusus dari pesawat terbang tersebut.
2. Lepas landas dengan satu kegagalan mesin: keadaan di mana landasan pacu yang cukup dibutuhkan untuk memungkinkan pesawat terbang lepas landas walaupun kehilangan daya atau bahkan direm untuk berhenti.
3. Pendaratan: suatu keadaan di mana landasan pacu yang cukup dibutuhkan untuk memungkinkan variasi normal dari teknik pendaratan. pendaratan yang melebihi jarak yang ditentukan (overshoots), pendekatan yang kurang sempurna (poor approaches), dll.


Panjang lapangan (field length), FL:
1. Full strength pavement, FS.
2. Stopway, SW.
3. Daerah bebas, clearway, CW

a. Kondisi lepas landas normal
    FL = FS + CW
    di mana:
                  CW = 0,50 (TOD - 1,15 LOD)
                  TOD = 1,15 D35
                  FS = TOR
                  TOR = TOD - CW

b. Kondisi lepas landas dengan kegagalan mesin
    FL = FS + CW
    di mana:
                  CW = 0,50 (TOD - LOD)
                  TOD = D35
                  FS = TOR
                  TOR = TOD - CW

c. Keadaan lepas landas yang ditunda
    FL = FS + CW
    di mana:
                  FL = ASD

d. Keadaan pendaratan
    FS = LD
    di mana:
                  LD = SD/0,60

e. Keadaan lepas landas normal
    FL = FS + CL
    di mana:
                  CL = 0,50 (TOD - 1,15 LOD)
                  TOD = 1,15 D35
                  FS = TOR
                  TOR = TOD - CL


Untuk menentukan panjang lapangan yang dibutuhkan dan berbagai komponennya yang terdiri dari perkerasan kekuatan penuh, daerah henti dan bebas, setiap persamaan di atas harus diselesaikan untuk rancangan kritis pesawat terbang di lapangan terbang.
Hal ini akan mendapatkan setiap nilai-nilai berikut:
1. FL = (TOD, ASD, LD)/maksimum
2. FS = (TOR, LD)/maksimum
3. SW = ASD - (TOR, LD)/maksimum
4. CW = (FL - ASD, CW)/minimum

TRANSPORTASI MAKRO (lapter_BAG 1)

Transportasi makro

Transportasi: perpindahan barang dan manusai dari tempat asal ke tempat tujuan.
Proses transportasi merupakan gerakan dari tempat asal, yaitu dari mana kegiatan transportasi di mulai ke tempat tujuan, yaitu ke mana kegiatan transportasi itu diakhiri.
Dalam proses transportasi di atas terdapat komponen atau objek yang saling berkaitan dan membentuk suatu sistem yang dikenal sebagai sistem transportasi makro.
Sistem ini terdiri dari beberapa sub-sistem/sistem transportasi mikro, sbb:
1. Sistem kegiatan (transport demand): membangkitkan pergerakan dan menarik pergerakan lalu lintas.
2. Sistem jaringan (transport supply): prasarana transportasi.
3. Sistem pergerakan (traffic): lalu lintas.
4. Sistem kelembagaan: instansi.

-Sistem kegiatan: BAPPEDA, BAPPENAS, BANGDA, PEMDA.
-Sistem jaringan: Departemen Perhubungan, Bina Marga.
-Sistem pergerakan: DLLAJR, ORGANDA, POLANTAS, ICAO, FAA.


Interaksi antar sistem transportasi mikro pada moda angkutan udara
Sistem kegiatan pada moda angkutan udara lebih luas sehingga lebih mempertimbangkan pola tata ruang nasional atau regional sehingga dengan sistem ini dapat diketahui pola/arah pembangunan nasional atau regional, karena diharapkan sistem jaringan transportasi udara dapat mendukung sistem kegiatan – tata guna lahan nasional atau regional.
Sistem jaringan transportasi udara meliputi:
¦  Sistem kegiatan (BAPPENAS, BAPPEDA TK I dan II).
¦  Jaringan dan rute penerbangan (Dephub dan Perusahaan Penerbangan).
¦  Sistem pergerakan (ICAO, FAA).



Sarana transportasi udara: pesawat terbang itu sendiri.

Prasarana transportasi udara
Prasarana lapangan terbang terdiri dari dua bagian penting:
? Prasarana/fasilitas sisi udara.
? Prasarana/fasilitas sisi darat, fasilitas operasi dan fasilitas penunjang.


Tatanan kebandarudaraan nasional
Tujuan tatanan kebandarudaraan nasional:
a. Terjadinya jaringan prasarana bandar udara secara terpadu, serasi dan harmonis agar bersinergi dan tidak saling mengganggu yang bersifat dinamis.
b. Terjadinya efisiensi transportasi bandar udara secara nasional.
c. Terwujudnya penyediaan jasa kebandarudaraan sesuai kebutuhan.
d. Terwujudnya penyelenggaraan yang andal dan berkemampuan tinggi dalam rangka menunjang pembangunan nasional dan daerah.


Tatanan kebandarudaraan nasional berisi penggolongan bandar udara berdasarkan:
Bandar udara
Menurut:
1. Fungsinya.
2. Penggunaannya.
3. Klasifikasinya.
4. Statusnya.
5. Penyelenggaraannya.
6. Kegiatan bandar udaranya.


Bandar udara menurut fungsinya:
Sebagai:
-Simpul dalam transportasi udara.
-Pintu gerbang kegiatan perekonomian nasional dan internasional.
-Tempat kegiatan alih moda transportasi.


Bandar udara menurut pengunaannya:
-Terbuka ke dan dari luar  negeri.

-Tidak terbuka ke dan dari luar negeri.


Kriteria penentuan hal tersebut di atas adalah berdasarkan:
-Potensi permintaan penumpang angkutan udara.
-Potensi kondisi geografis.
-Potensi kondisi pariwisata.
-Potensi kondisi ekonomis.
-Aksebilitas dengan bandar udara di sekitarnya.
-Keterkaitan intra dan antar moda.



Bandar udara menurut klasifikasinya:
Bandar udama
Kelas:
-Utama.

-I A.

-I B.

-II A.

-II B.

-III A.

-III B.

-IV dan V (perintis).


Kriteria penentuan hal tersebut di atas adalah berdasarkan:
-Jenis pengendalian ruang udara di sekitar bandar udara.
-Fasilitas bandar udara.
-Kegiatan operasi bandar udara.
-Potensi kondisi ekonomi.


Bandar udara menurut status:
Bandar udara:
-Umum: yang digunakan untuk melayani kepentingan umum.

-Khusus: yang digunakan untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu.


Bandar udara menurut penyelenggaranya:
Bandar udara
-Umum oleh:
 a. Pemerintah.
 b. Pemerintah provinsi.
 c. Pemerintah kabupaten/kota.
 d. Badan usaha kebandarudaraan.

-Khusus oleh:
 a. Pemerintah.
 b. Pemerintah provinsi.
 c. Pemerintah kabupaten/kota.
 d. Badan hukum Indonesia.


Konfigurasi bandar udara
-Konfigurasi: jumlah dan arah dari landasan pacu dan penempatan bangunan terminal, termasuk lapangan parkir yang berkaitan dengan landasan pacu itu.
-Jumlah landasan pacu tergantung dari volume lalu lintas udara, arah landasan tergantung dari arah angin dominan dan juga ketersediaan lahan.
-Gedung-gedung terminal diatur sedemikian rupa sehingga penumpang denganmudah dan cepat mencapai landasan pacu.
-Seluruh perencanaan meliputi gabungan dari fasilitas banar udara dan bagian-bagian operasi yang memberikan kombinasi yang paling efisien.


Runway: bagian bandar udara yang berbentuk segi empat persegi panjang dan digunakan pesawat terbang untuk lepas landas (take-off) dan mendarat (landing). 

Bagian-bagian landasan pacu
a. Struktur perkerasan.
b. Bahu landasan.
c. Daerah aman landasan pacu.



Konfigurasi landasan pacu
Konfigurasi landasan pacu dapat dibagi menjadi:
a. Landasan pacu tunggal
    Kapasitas
                     VFR 50 – 100 operasi/jam.
                     IFR  50 – 70   operasi/jam.


b. Landasan pacu sejajar
    -Jarak rapat/berdekatan (jarak antar sumbu 700 ft = 213 m sampai < 2.500 ft = 761 m).
     Kondisi IFR 50 – 60 operasi/jam.

    -Jarak menengah (jarak antar sumbu 2.500 ft sampai < 4.300 ft = 1.310 m ).
     Kondisi IFR 60 – 75 operasi/jam.

    -Jarak renggang (mempunyai jarak antar sumbu = 4300 ft).
     Kondisi IFR 100 – 125 operasi/jam.


c. Landasan pacu dua jalur
    Terdiri dari dua landasan pacu sejajar berjarak rapat 700 ft sampai < 2.500 ft dengan landasan hubung keluar yang memadai sedangkan landasan pacu yang jauh dari terminal digunakan untuk kedatangan dan dekat digunakan untuk keberangkatan.
    Daya tampung LL udara adalah 70% > dari landasan pacu tunggal dalam kondisi VFR, sedang 60 % > apabila dalam kondisi IFR.


d. Landasan pacu bersilang
    Bandar udara yang mempunyai dua atau lebih landasan pacu yang arahnya berbeda dan saling berpotongan, pola tersebut dinamakan pola berpotongan.
    Digunakan bila angin bertiup kencang lebih dari satu arah.
    Kapasitas ditentukan dari letak titik potongnya.
    Kapasitas tertinggi bila titik potong terletak dekat ujung landasan pacu.


e. Landasan pacu V terbuka
    Arah landasan pacu divergen (memencar), tetapi tidak saling potong.
    Dapat berubah menjadi landasan tunggal bila angin bertiup kencang dari satu arah.
    Kapasitas maksimum bila menjauhi V, kapasitas IFR 60 – 70 operasi/jam dan VFR 80 – 200 operasi/jam.
    Bila mendekati V kapasitas IFR 50 – 60 operasi/jam dan dalam kondisi VFR 50 – 100 operasi/jam.


Taxiway
Fungsi utamanya adalah sebagai jalan keluar masuk pesawat dari landasan pacu ke bangunan terminal (apron) dan sebaliknya atau ke hanggar pemeliharaan.
Taxiway harus diatur sedemikian rupa agar pesawat yang baru mendarat tidak mengganggu pesawat yang akan lepas landas dan dapat meninggalkan landasan pacu secepatnya agar landasan pacu dapat dignakan utk pesawat yang akan lepas landas, sebaiknya taxiway direncanakan agar pesawat dapat berbelok dalam kecepatan tinggi.


Apron/landasan parkir: bagian bandar udara yang digunakan untuk parkir pesawat terbang.
Di tempat ini juga merupakan tempat naik/turun penumpang, bongkar muat barang dan pengisian bahan bakar.
Tempat ini juga dapat dijadikan tempat untuk melaksanakan perbaikan kecil terhadap pesawat terbang.


Holding apron
Disebut juga apron ancang atau pemanasan, ditempatkan sangat dekat dengan ujung landasan pacu untuk melaksanakan pemeriksanaan teknis terakhir sebelum lepas landas.
Harus dibuat cukup luas agar apabila ada pesawat terbang yang gagal lepas landas, maka pesawat terbang lain yang akan lepas landas dapat melaluinya.
Apron dirancang untuk dapat menampung dua atau empat pesawat terbang dan bila memungkinkan diletakkan sedemikian rupa agar pesawat terbang yang berangkat dari apron ini dapat memasuki ujung landasan pacu dengan sudut lebih kecil dari 90°.


Holding bay: apron yang relatif lebih kecil ditempatkan pada suatu tempat yang mudah dicapai di bandar udara untuk parkir pesawat terbang sementara untuk menunggu kesempatan masuk, terutama pada jam sibuk.
Biasanya juga diinginkan untuk keperluan khusus, seperti dilindungi dari gangguan umum.


Perancangan/pemilihan lokasi bandar udara
1. Tipe pengembangan lingkungan sekitarnya.
2. Kondisi atmosfir.
3. Kemudahan mendapatkan angkutan darat.
4. Tersedianya tanah untuk pengembangan.
5. Adanya bandar udara lainnya.
6. Halangan di sekeliling.
7 Pertimbangan ekonomis.
8. Tersedianya utilitas.

Minggu, 03 April 2011

METODE PENELITIAN EKSPERIMEN (tekpen BAG_6)

Metode penelitian eksperimen
Sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan.


Langkah-langkah penelitian eksperimen
-Meneliti literatur yang berhubungan dengan masalah penelitian.

-Mengidentifikasi dan membatasi masalah.

-Merumuskan hipotesis.

-Menyusun rencana secara lengkap dan operasional, meliputi:
 •Menentukan variabel bebas dan terikat.
 •Memilih desain yang digunakan.
 •Menentukan sampel.
 •Menyusun alat.
 •Membuat outline prosedur pengumpulan data.
 •Merumuskan hipotesis statistik.

-Melaksanakan eksperimen.

-Menyusun data untuk memudahkan pengolahan.

-Menentukan taraf significansi yang akan digunakan dalam menguji hipotesis.

-Mengolah data dengan metode statistika (menguji hipotesis berdasarkan data yang terkumpul).

-Melakukan penafsiran.

-Membuat kesimpulan.
       

Karakteristik penelitian eksperimen
-Eksperimen pada intinya adalah pengamatan atau observasi terhadap hubungan kausal antara munculnya suatu akibat (variabel terikat) dan sebab (variabel bebas) tertentu melalui suatu upaya sengaja yang dilakukan oleh peneliti.
-Ciri-ciri yang membedakan eksperimen dari jenis penelitian lain adalah adanya: manipulasi variabel, kontrol, penugasan random dan perlakuan (treatment).


Karakteristik utama penelitian eksperimen
1. Manipulasi variabel.
2. Kontrol.
3. Penugasan random.
4. Perlakuan.


1. Manipulasi variabel
    -Bila melakukan eksperimen, maka secara sengaja mengintervensi terjadinya hubungan kausal.

    -Situasi (variabel bebas) yang diasumsi sebagai penyebab munculnya gejala (variabel terikat) secara sengaja dimanipulasi.

    -Manipulasi variabel ini dilakukan dengan menempatkan subjek pada situasi tersebut dan mencegah kemungkinan munculnya faktor lain yang dapat mencermati situasi ini.


2. Kontrol
    -Kesimpulan tentang hubungan kausal antara variabel bebas dan variabel terikat dengan valid bila dilakukan pengontrolan pengaruh variabel lain terhadap variabel terikat.

    -Pengontrolan ini menggunakan yang disebut dengan kelompok kontrol.
     Dalam beberapa segi, keberadaan kelompok kontrol sama dengan kelompok eksperimen.

    -Satu-satunya perbedaan adalah pada kelompok eksperimen diberi perlakuan, sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada perlakuan.

    -Dengan demikian, bila muncul gejala yang berbeda antara kedua kelompok, maka itu dianggap sebagai pengaruh perlakuan atau treatment effect.


3. Penugasan random (random assingment)
    -Dalam konteks eksperimen, perandoman dilakukan dalam dua kegiatan, yaitu dalam memilih subjek yang menjadi sampel (pemilihan random atau random selection) dan menugaskan setiap subjek yang menjadi sampel ke dalam salah satu dari kelompok eksperimen atau kelompok kontrol yang disebut dengan penugasan random atau random assignment.

    -Pemilihan random berfungsi membuat kelompok subjek yang menjadi sampel itu representatif terhadap populasi.

    -Adapun fungsi penugasan random adalah agar sebelum pelaksanaan eksperimen, baik kelompok eksperimen maupun kontrol keadaannya sama (homogen) sehingga bila setelah eksperimen terjadi perbedaan pada kedua kelompok itu, perbedaan yang terjadi adalah pengaruh dari perlakuan.


4. Perlakuan (treatment)
    -Di muka telah dijelaskan, bahwa eksperimen pada intinya sama dengan observasi.
     Perbedaan antara keduanya terletak pada objek yang diamati
   
    -Pada observasi yang bukan eksperimen, objek yang diamati telah ada sedangkan pada eksperimen objek yang diamati itu diciptakan situasi munculnya oleh peneliti.

    -Memunculkan objek pengamatan itu adalah melalui perlakuan atau treatment.


Kevalidan kesimpulan eksperimen
-Kevalidan kesimpulan eksperimen terkait dengan pertanyaan kesimpulan yang dibuat itu sahih atau tidak.
-Kevalidan ini mencakup dua macam, yaitu kevalidan internal dan kevalidan eksternal.
-Kevalidan internal adalah kesahihan penyimpulan, bahwa munculnya variabel terkait adalah disebabkan oleh variabel bebas.
-Adapun kevalidan eksternal adalah kesahihan memberlakukan kesimpulan ke dalam lingkup yang lebih luas atau kesahihan menggeneralisasi kesimpulan eksperimen
-Agar kesimpulan eksperimen itu valid, baik secara internal maupun eksternal, perlu dihindari adanya faktor yang dapat mencemari kevalidan itu.
-Untuk itu, perlu diketahui berbagai pencemar, baik terhadap kevalidan internal maupun eksternal.


Kevalidan eksternal
-Kesahihan penyimpulan, bahwa munculnya variabel terikat adalah disebabkan oleh variabel bebas (sejarah, testing, instrumentasi, regresi statistik, bias pemilihan subjek, kehilangan subjek, dsb).


Pencemaran kevalidan internal
-Sejarah, yakni peristiwa tertentu di luar variabel eksperimen yang terjadi dalam rentangan antara pre-test dan post-test (dalam proses eksperimen).

-Testing, yaitu efek penyelenggaraan pre-test terhadap hasil dari post-test.

-Instrumentasi, yakni alat test yang digunakan untuk menguji efek perlakuan tidak valid dan reliabel sehingga skor yang diperoleh subjek bukan yang sebenarnya, melainkan bersifat bias.

-Regresi statistik, ini bisa terjadi, bila peneliti hanya memilih subjek-subjek yang mempunyai skor ekstrim (skor tinggi saja) dan membuang skor-skor rendah.

-Bias pemilihan subjek, ini bisa terjadi, bila subjek dalam kelompok eksperimen keadaannya berbeda dengan kontrol, akibat pemilihan yang tidak dilakukan secara random.

-Kehilangan subjek, bila sebagian subjek dari kelompok eksperimen yang mengikuti pre-test tidak melanjutkan mengikuti post-test menyebabkan perbedaan jumlah subjek yang mencolok antara kelompok eksperimen dan kontrol, maka hal ini dapat menjadi pencemar kevalidan internal.


Kevalidan eksternal
-Kesahihan memberlakukan kesimpulan ke dalam lingkup yang lebih luas atau menggeneralisasi kesimpulan eksperimen (efek interaksi tes, efek interaksi bias pemilihan subjek dan variabel eksperimen, efek reaktif dari pelaksanaan eksperimen, interfensi perlakuan berganda).


Pencemaran kevalidan eksternal
-Efek interaksi test.
 Pelaksanaan pre-test bisa mempengaruhi kepekaan atau keresponsifan subjek terhadap variabel eksperimen.

-Bila demikian, maka keadaan subjek yang menjadi sampel menjadi berbeda dengan populasinya yang berarti sampel tidak representatif terhadap populasi.
 Bila sampel tidak representatif, maka kevalidan generalisasi kesimpulan patut dipertanyakan.

-Efek interaksi bias pemilihan subjek dan variabel eksperimen.
 Pemilihan subjek yang bias dapat mempengaruhi tercemarnya kesimpulan tentang efek variabel eksperimen atau kevalidan internal.

-Bila demikian, maka kevalidan generalisasi kesimpulan patut dipertanyakan.

-Efek reaktif dari pelaksanaan eksperimen.
 Bila subjek yang mengikuti pelaksanaan eksperimen menyadari bahwa dirinya sedang dieksperimen dapat menimbulkan reaksi tertentu pada dirinya.

-Sementara subjek lain (dari populasi) tidak.

-Oleh sebab itu, hal ini bisa mencemari kevalidan generalisasi kesimpulan yang dibuat.

-Interfensi perlakuan berganda.
 Ini bisa terjadi bila suatu perlakuan diberikan kepada suatu kelompok subjek secara berulang-ulang.


Desain eksperimen
Pra-eksperimen
Digunakan untuk melakukan studi pendahuluan sebelum dilakukan eksperimen sebenarnya.

Eksperimen sebenarnya
Eksperimen yang memiliki ciri-ciri utama eksperimen, seperti manipulasi variabel, kontrol, penugasan random dan perlakuan.

Kuasi-eksperimen
Tidak dilakukan penugasan random, tapi menggunakan kelompok yang telah ada.
Digunakan bila ada hambatan melakukan penugasan random dan dilakukan penugasan random akan merusak kealamiahan situasi kelompok sedangkan kealamiahan kelompok sangat penting dalam proses manipulasi variabel.


Desain
Pra-eksperimen
-Kelompok tunggal dengan pre-test dan post-test.
-Kelompok tunggal dengan rangkaian waktu.

Eksperimen sebenarnya
-Pre-test dan post-test menggunakan kelompok kontrol dengan penugasan random.
-Solomon.
-Dengan kelompok kontrol tanpa pre-test.

Kuasi-eksperimen
-Pre-test dan post-test menggunakan kelompok kontrol tanpa penugasan random.
-Rangkaian waktu dengan kelompok kontrol.
-Counterbalance.
-Faktorial.


Pra-eksperimen
Desain kelompok tunggal dengan
1. Pre-test - post-test
    -Memilih sekelompok subjek untuk sampel.

    -Mengadakan pre-test.

    -Mencobakan atau memberi perlakuan.

    -Mengadakan post-test setelah perlakuan.

    -Mencari rata-rata skor dan simpangan baku dan membandingkan keduanya.

    -Menguji perbedaan rata-rata.


2. Rangkaian waktu
    -Pre-test maupun post-test dilakukan beberapa kali dalam serangkaian waktu pelaksanaan.


Eksperimen sebenarnya
Desain
1. Pre-test - post-test menggunakan kelompok kontrol dengan penugasan random
    -Memilih subjek yang mempunyai latar belakang sama (homogen) melalui pemilihan secara random.

    -Secara random, setiap subjek ditugaskan ke kelompok eksperimen atau kontrol.

    -Mengadakan pre-test untuk memperoleh skor.

    -Memberi perlakuan, misalnya diajar dengan metode abru yang dieksperimenkan.

    -Dapat dilakukan pengajaran dengan materi yang sama dengan metode lain, bukan dengan metode yang sedang dieksperimenkan.

    -Mengadakan post-test untuk memperoleh skor.

    -Dengan menggunakan metode statistika dicari perbedaan antara rata-rata (misalnya: menggunakan analisis kovariansi).

    -Untuk memperbesar ketelitian pelaksanaan eksperimen, penggunaan desain ini dapat dimodifikasi dengan menggunakan lebih dari satu kelompok eksperimen.


2. Solomon
    -Dilakukan menggunakan kelompok.

    -Kelompok terdiri dari eksperimen dan kontrol yang mengalami pre-test.

    -Kelompok selanjutnya tidak diadakan pre-test, baik terhadap kelompok eksperimen maupun kontrol.

    -Penempatan subjek pada masing-masing dilakukan dengan penugasan random.

    -Analisis statistik dilakukan untuk mencari perbedaan rata-rata dari kelompok eksperimen sedangkan rata-rata dari kelompok selanjutnya diperoleh dengan cara menghitung perbedaan, dengan catatan jumlah subjek pada kelompok itu sama.

    -Hal ini dipertimbangkan, karena pengambilan sampel dilakukan secara random, maka diduga skor pada kelompok akan sama.

    -Hasil perhitungan untuk perbedaan selanjutnya dilakukan pengujian statistik, seperti menggunakan uji untuk variabel tergantung atau planned analysis.

    -Maksud pengujian itu adalah untuk membuat perbandingan.

    -Penggunaan ini memiliki validitas sama dengan nilai tambah, dapat mengontrol pengaruh pencemar efek interaksi tes, sebab dengan ini bila ternyata perbandingan antara itu ada perbedaan yang signifikan, maka diasumsikan perbedaan itu disebabkan karena efek interaksi tes.

    -Bila tidak, maka berarti perlakuan telah memberi pengaruh kepada variabel terikat.


3. Dengan kelompok kontrol tanpa pre-test
    Penggunaan desain ini hanya melakukan post-test, baik terhadap kelompok eksperimen maupun kontrol.
    Penempatan subjek dalam kelompok masing-masing dilakukan dengan penugasan random.
    -Menggunakan setiap subjek pada kelompok eksperimen dan kontrol secara random.

    -Melaksanakan eksperimen terhadap kelompok eksperimen.

    -Mengadakan tes, baik terhadap kelompok eksperimen maupun pembanding.

    -Mencari perbedaan rata-rata antara skor dengan metode statistika untuk meliahat perbedaan tersebut signifikan.


Kuasi-eksperimen
Desain
1. Pre-test - post-test menggunakan kelompok kontrol tanpa penugasan random
    -Perbedaan satu-satunya adalah tidak dilakukan penugasan random.

    -Oleh sebab itu, bila semua pencemar kevalidan internal dapat dihindari, maka dalam desain ini pencemar yang terkait dengan akibat pemilihan subjek yang bias, seperti interaksi antara pemilihan subjek dengan kematangan, dsb, tidak dapat terkontrol.

    -Selain itu, kemungkinan tak terhindarinya pencemar regresi statistik akan ada, terutama bila jumlah subjek pada masing-masing kelompok tidak sama.

    -Oleh sebab pelaksanaan dengan desain ini sama, maka bagannya pun sama juga, kecuali tidak menggunakan penugasan random.


2. Rangkaian waktu dengan kelompok kontrol
    -Merupakan penggunaan desain sebagai kelompok eksperimen dan membandingkan dengan hasil analisis terhadap kelompok sebagai kelompok kontrol.

    -Menentukan sampel, baik kelompok eksperimen maupun kontrol.

    -Mengadakan serangkaian tes dalam serangkaian waktu, baik terhadap kelompok eksperimen maupun kontrol, baik sebelum eksperimen maupun sesudah eksperimen.

    -Mencatat data atau skor dalam bentuk tabel rangkaian waktu.

    -Mencari rata-rata dari masing-masing skor, baik sebelum maupun sesudah eksperimen, baik dari kelompok eksperimen maupun kontrol.

    -Mencari, baik dari kelompok eksperimen maupun kontrol.

    -Membandingkan secara statistik perbedaan itu signifikan.


3. Counterbalance
    -Dikenal juga dengan nama "desain rotasi", "crossover" atau "switchover".

    -Digunakan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan desain yang tidak menggunakan penugasan random, terutama jikan anggota sampel terbatas, tidak menggunakan pre-test dan yang dites lebih dari satu variasi.

    -Pelaksanaannya dilakukan dengan mengambil kelompok dan setiap kelompok diberi perlakuan beberapa kali sesuai dengan jumlah kelompok secara bergantian sehingga setiap kelompok mengalami satu jenis perlakuan.

    -Dari bagan dapat dilihat, masing-masing kelompok mengalami setiap jenis perlakuan.

    -Langkah-langkah desain:
     •Menetapkan kelompok untuk dieksperimen.
     •Melakukan eksperimen.
     •Mengetes setiap kelompok, masing-masing setelah diberi setiap jenis perlakuan.
     •Mencari rata-rata dari setiap kelompok yang mengalami tiap jenis perlakuan.
     •Mencari perbedaan rata-rata, kemudian dilihat perbedaan itu signifikan.

    -Untuk meningkatkan kontrol terhadap validitas desain ini, dapat digunakan kelompok.

    -Setiap kelompok akan mengalami eksperimen dari metode tersebut sehingga bagan desain ini akan berkembang.

    -Setelah dilakukan tes terhadap setiap kelompok, selanjutnya dicari rata-rata dari tiap kelompok, kemudian dicari perbedaan rata-rata dari masing-masing skor untuk menetapkan suatu jenis metode yang terbaik di antara metode di atas.


4. Faktorial
    -Memungkinkan dapat digunakan, diamati dan dianalisis berbagai pengaruh dari variabel secara bersamaan.

    -Hal ini dapat memungkinkan untuk dilihat sesuatu proses lebih mendekati keadaan yang sebenarnya sehingga dapat dinilai secara serentak berbagai akibat dari setiap variabel eksperimen.

    -Juga dapat digunakan dalam eksperimen sebenarnya.
     Bila desain ini digunakan pada eksperimen sebenarnya, maka dilakukan penugasan random.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons